EKSTRIMISME DAN PRIMORDIALISME
Oleh :
Kelompok 2
1. FEBRIANA WULANDARI (09141083)
2. INGGRIANI ANDEWI P (09141108)
3. IRFAN FAJAR HANDIKA (09141109)
4. ITA SETYANINGRUM (09141112)
5. IYON PURNABAKTI (09141114)
6. LAILIYAH M M (09141121)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
IKIP PGRI MADIUN
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Namun, di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan ekstrimisme?
2. Apakah penyebab terjadinya ekstrimisme?
3. Apa saja contoh-contoh kasus ekstrimisme?
4. Apakah yang dimaksud dengan primordialisme?
5. Apakah penyebab terjadinya primordialisme?
6. Apa saja jenis-jenis primordialisme?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui definisi ekstrimisme.
2. Mengetahui penyebab terjadinya ekstrimisme.
3. Mengetahui contoh-contoh kasus ekstrimisme.
4. Mengetahui definisi primordialisme.
5. Mengetahui penebab terjadinya primordialisme.
6. Mengetahui jenis-jenis primordialisme.
D. MANFAAT
1. Manfaat teoritis
2. Manfaat praktis
a. Bagi guru:
Dengan mengetahui definisi ekstrimisme dan primodialitas diharapkan sebagai calon guru ataupun guru dapat menyaring adanya berbagai kelompok sosial agar tidak terjadi konflik ataupun tindakan-tindakan ekstrim.
b. Bagi siswa:
Siswa dapat menyesuaikan diri dalam menghadapi prubahan sosial sehingga siswa tidak melakukan tindakan yang dianggap ekstrim dan berbahaya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ekstrimisme
Ekstremisme adalah paham atau keyakinan yang sangat kuat terhadap suatu pandangan yang melampaui batas kewajaran dan bertentangan dengan hukum yang berlaku. Paham ekstremisme sering menggunakan cara atau gerakan yang bersifat keras dan fanatic dalam mencapai tujuan. Ekstremisme mengakibatkan pertentangan-pertentangan antara satu dengan yang lain, menimbulkan perasaan saling mencurigai, sehingga mengakibatkan perpecahan antara satu dengan yang lain, menimbulkan perasaan saling mencurigai, sehingga mengakibatkan perpecahan.
Seseorang dikatakan ekstrimis bila :
• Sangat antusias dan sangat berlebihan dalam tindakan yang tidak tepat, karena terlalu memfokuskan diri pada interpretasi pribadi yang berlebihan dalam melihat dunia ini.
• Hanya memperhatikan logika berpikir dari perilaku mereka sendiri, pemikiran pihak lain lewat, dan cenderung close mind.
• Tidak berempati terhadap pihak lain dan cenderung tidak manusiawi terhadap korban2 mereka.
2. Penyebab terjadinya Ekstrimisme
Ekstrimisme disebabkan oleh aktivitas kelompok dan ideologi yang dikemukakan oleh beberapa ahli sebagai berikut:
a. Cataldo Neuberger and Valentini (1996), Pearlstein (1991) dan Post (1990) mengatakan bahwa penyebab ekstremis adalah penyimpangan kepribadian / mental disorder.
b. Tetapi Braungart & Braungart (1992), Crenshaw (2000), Rabbie (1991), Ross (1994), dan Silke (1998) menolak pandangan tersebut, mereka berargumentasi bahwa kepribadian bukanlah penyebab ekstremisme.
c. Secara politik, perilaku ekstrimis dipandang bukan dari hasil psycopathologi / mental disorder, melainkan karena adanya ideologi bersama yang kuat dan solidaritas kelompok yang kokoh (aktivitas kelompok).
d. Baumeister (1997:190) mengatakan bahwa perilaku kekerasan oleh ekstrimis hampir selalu didorong oleh semangat kelompok.
e. Dalam hal ini ada dukungan dan tekanan dari kelompok, sehingga peran individu sendiri tidak begitu kuat.
f. Tajfel dan Turner (1979) menyatakan banyak perilaku sosial kita yang bisa dijelaskan dari kecenderungan kita untuk mengidentifikasikan diri kita sebagai bagian dari sebuah kelompok dan menilai orang lain sebagai bagian dari kelompok itu atau bukan.
Tajfel dan Turner mengemukakan tiga proses kognitif dalam menilai orang lain sebagai golongan ‘kita’ atau ‘mereka’.
a. Pengelompokan sosial, kita mengidentifikasikan diri kita dan orang lain sebagai anggota kelompok sosial. Kita semua cenderung membuat pengelompokan social seperti jender, ras, dan kelas. Beberapa kelompok sosial lebih relevan bagi sebagian orang daripada yang lain, misalnya penggemar sepak bola dan pecinta kucing. Kelompok yang kita anggap paling penting berbeda-beda menurut individu yang bersangkutan, tetapi kita tidak bergabung dengan kelompok karena individunya. Kita menerima kelompok-kelompok yang kita tahu memang penting. Tentu saja kita bisa mengelompokkan diri kita sebagai bagian dari beberapa kelompok sekaligus.
b. Identifikasi sosial, kita mengambil identitas kelompok yang kita ikuti. Misalnya, jika anda mengelompokkan diri anda sebagai seorang mahasiswa, kemungkinan anda akan mengambil identitas sebagai seorang mahasiswa dan mulai bersikap dengan cara yang anda percaya sebagai cara bersikap seorang mahasiswa. Identifikasi anda pada suatu kelompok akan memberikan suatu makna emosional, dan harga diri anda akan terkait erat dengan keanggotaan kelompok.
c. Perbandingan sosial. Sekali kita sudah mengelompokkan diri kita sebagai bagian dari sebuah kelompok dan berpihak pada kelompok itu, maka kita cenderung membandingkan kelompok kita dengan kelompok lain. Bila harga diri kita harus dipertahankan, kelompok kita harusdibandingkan secara menguntungkan dengan kelompok lain. Inilah yang penting dalam memahami prasangka, sebab begitu dua kelompok mengidentifikasikan diri sebagai musuh, mereka terpaksa bersaing agar harga diri anggota-anggotanya dapat ditegakkan. Maka, persaingan dan permusuhan diantara kelompok bukan hanya masalah berebut sarana seperti pekerjaan, tetapi juga dampak dari identitas yang diperebutkan. Tentu saja, ini tidak berarti bahwa kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk meredakan prasangka.
3. Contoh-contoh Kasus Ekstrimisme
Beberapa contoh kasus ekstrimisme politik sebagai berikut:
1. Kelompok Teroris di Amerika Serikat
· Kelompok Patriot/ neo Nazi (berjumlah 5 -12 juta orang) : yang terlalu bangga dengan ras kulit putih, memandang kelompok miskin sebagai akibat dari adanya imigran dan ras kulit hitam. Mereka mengkambing-hitamkan imigran dan ras kulit hitam sebagai penyebab kemiskinannya.
· Kelompok Identitas Kristen: yang menganggap Kristen sebagai agama yang paling benar.
2. Kasus ekstrimisme di Australia
· One Nation Party (kulit putih)
· Musuh utamanya lebih cenderung imigran (Asia) daripada kulit hitam, karena kulit hitam di Australia relative sedikit.
4. Pengertian Primordialisme
Primordialisme adalah paham atau ide dari anggota masyarakat yang mempunyai kecenderungan untuk berkelompok sehingga terbentuklah suku-suku bangsa. Pengelompokan itu tidak hanya pembentukan suku bangsa saja, tetapi juga di bidang lain, misalnya pengelompokan berdasarkan idiologi agama dan kepercayaan.
Primordialisme oleh sosiologi digunakan untuk menggambarkan adanya ikatan-ikatan seseorang dalam kehidupan sosial dengan hal-hal yang di bawah sejak awal kelahiran seperti suku bangsa, daerah kelahiran, ikatan klan, dan agama.
Jadi primordialisme adalah paham atau ide dari anggota masyarakat yang memiliki kecenderungan untuk berkelompok berdasarkan suku-suku bangsa.
5. Penyebab Terjadinya Primordialisme
Salah satu konsekuensi dari kenyataan adanya kemajemukan masyarakat atau diferensiasi sosial adalah terjadinya primordialisme, yaitu pandangan atau paham yang menunjukkan sikap berpegang teguh pada hal-hal yang sejak semula melekat pada diri individu, seperti suku bangsa, ras, dan agama. Primordialisme sebagai identitas sebuah golongan atau kelompok sosial merupakan faktor penting dalam memperkuat ikatan golongan atau kelompok yang bersangkutan dalam menghadapi ancaman dari luar. Namun, seiring dengan itu, primordialisme juga dapat membangkitkan prasangka dan permusuhan terhadap golongan atau kelompok sosial lain.
Primordialisme dapat terjadi karena faktor-faktor berikut:
a. Adanya sesuatu yang dianggap istimewa oleh individu dalam suatu kelompok atau perkumpulan sosial.
b. Adanya suatu sikap untuk mempertahankan keutuhan suatu kelompok atau kesatuan sosial dari ancaman luar.
c. Adanya nilai-nilai yang berkaitan dengan sistem keyakinan, seperti nilai keagamaan dan pandangan hidup.
6. Jenis-jenis Primordialisme
a. Primordialisme Suku
Primodialisme suku adalah seseorang yang terikat dengan sukunya sendiri daripada suku yang lain. Contoh : Kelompok suku Bugis yang keras, tidak mau mengalah, menganggap kepercayaannya paling sempurna dan mau menang sendiri terhadap suku Dayak.
b. Primordialisme Agama
Primodialisme agama adalah seseorang yang mempercayai atau berpegang teguh pada agamanya sendiri dan cenderung fanatik. Contoh: Sekelompok orang dari FPI yang menganggap agamanya paling benar dan unggul dari agama lain dan menyebabkan konflik karena pemikirannya.
c. Primordialisme Kedaerahan
Primodialisme kedaerahan adalah seseorang yang terikat dengan daerahnya sendiri ketimbang daerah lainnya. Contoh: pemikiran yang beranggapan kepentingan kelompok suatu daerah tertentu harus mengalahkan kepentingan daerah lain atau lebih mementingkan daerahnya sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ekstrimisme merupakan gerakan ekstrim yang lebih banyak disebabkan oleh faktor kelompok / lingkungan. Ekstremisme dapat berbentuk state actor maupun non state actor. Ekstrimisme dapat direkrut melalui berbagai macam cara, baik yang bersifat kontak personal maupun paksaan. Sedangkan primordialisme adalah paham atau ide dari anggota masyarakat yang mempunyai kecenderungan untuk berkelompok sehingga terbentuklah suku-suku bangsa.
B. SARAN
Ikatan seseorang terhadap suatu kelompok yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap dari seseorang tersebut. Namun apabila sikap dari hasil sosialisasi tersebut terlalu mendarahdaging dan bahkan menjadi sebuah keyakinan akan berdampak buruk dalam kehidupan sosialisasi orang tersebut. Seharusnya seseorang dapat saling menghargai terhadap keyakinan dan paham dari masing-masing orang. Jika seseorang dapat saling menghargai keyakinan dan paham maka kesatuan dan persatuan akan dapat terbentuk dengan baik.