Posting ini kelanjutan dari posting saya Studi Kasus Kematian Marsinah jika Anda belum Mambaca posting sebelumnya silahkan Baca dulu Studi Kasus Kematian Marsinah. Ok langsung saja gimana Kelanjutan Kasus terbunuhnya Marsinah...?? kita simak bersama.
Upaya Tindak Lanjut Penuntasan Kasus Marsinah
Setelah melalui proses kasasi di MA yang menghasilkan keputusan bebas murni terhadap para terdakwa dalam Kasus Marsinah tersebut diatas, tidak serta merta menghentikan tuntutan masyarakat luas bahkan internasional melalui ILO, yang senantiasa menuntut pemerintah RI untuk tetap berupaya mengusut tuntas Kasus Marsinah yang dalam catatan ILO dikenal dengan sebutan kasus 1713.
Komitmen pemerintah RI dalam mengusut tuntas kasus tersebut pada awalnya diperlihatkan pada saat pemerintahan era Presiden Abdurrahman Wahid yang memberikan perintah kepada Kapolri agar melakukan penyelidikan dan penyidikan lanjutan guna mengungkap Kasus Marsinah. Begitu juga pada saat pemerintahan era Presiden Megawati Soekarno Putri yang juga memiliki komitmen yang sama untuk tetap berupaya menuntaskan Kasus Marsinah. Namun, sampai dengan saat ini, Kasus Marsinah belum terungkap.
2. Kasus Marsinah merupakan Pelanggaran HAM.
a. Pasal 1 butir ke-1 UU No. 39 tahun 1999
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
b. Pasal 1 butir ke-6 UU No. 39 tahun 1999
Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
c. Pasal 9 butir ke-1 UU No. 39 tahun 1999
Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
Fakta – fakta Kejadian
a. Mayat Marsinah ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Posisi mayat ditemukan tergeletak dalam posisi melintang dengan kondisi sekujur tubuh penuh luka memar bekas pukulan benda keras, kedua pergelangannya lecet-lecet, tulang panggul hancur karena pukulan benda keras berkali-kali, pada sela-sela paha terdapat bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul dan pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah.
b. Berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan Kasus Marsinah tersebut oleh Polri termasuk temuan Komnas HAM, didapatkan fakta bahwa kematian Marsinah diduga keras dilatarbelakangi tindakan Marsinah yang sangat vokal saat unjuk rasa di PT CPS dalam rangka menuntut kenaikan gaji buruh dan keberaniannya menentang perlakuan aparat TNI AD di Kodim Sidoarjo yang secara sewenang-wenang dan tanpa hak meminta beberapa buruh PT CPS menandatangani surat PHK yang pada akhirnya menyebabkan Marsinah dibunuh oleh pihak tertentu untuk meredam aksi buruh di beberapa tempat lainnya di Indonesia saat itu.
Laporan Komnas HAM Tahun 2007 (hal. 37)
Pembunuhan terhadap pegiat HAM adalah pelanggaran HAM yang tergolong serius, oleh karena itu ketidaktuntasan kasus ini akan menjadi bukti betapa lemahnya pemerintah di kalangan intelejen dan pro status quo untuk mengungkap kasus-kasus pembunuhan para pembela HAM seperti kasus aktivis buruh Marsinah, wartawan Udin, aktivis Aceh Jaffar Siddik, hakim Syaifuddin dan Theys H. Eluay dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang definisi HAM pada pasal 1 butir ke-1 jo pasal 9 butir ke-1 UU No. 39 tahun 1999, dikaitkan dengan dengan adanya fakta kejadian tersebut diatas, serta didukung oleh pernyataan Komnas HAM dalam laporan tahunannya pada tahun 2007, maka pembunuhan terhadap Marsinah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, namun bukan termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat (vide pasal 7 UU No. 26 tahun 2000), sebagaimana halnya dalam kasus pembunuhan aktifis HAM lainnya yaitu antara lain Munir yang dalam nampak dalam proses hukumnya dengan diterapkannya pasal-pasal dalam KUHP tentang pembunuhan, bukan pasal-pasal dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
3. Proses Pengajuan Novum
Apabila ada Novum (Bukti Baru) dalam kasus Marsinah, dapat diajukan melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK) yang prosesnya dilakukan dengan cara permintaan PK tersebut diajukan pemohon kepada panitera Pengadilan Negeri (PN) yang memutus perkara tersebut dalam tingkat pertama. Selanjutnya PK tersebut diteruskan oleh PN kepada Mahkamah Agung (MA) (vide pasal 264 KUHAP), dengan catatan bahwa jangka waktu daluwarsa dalam kasus dimaksud belum terlampaui / lewat, dalam Kasus Marsinah ini, mengingat pasal KUHP dengan ancaman hukuman terberat yang diterapkan yaitu pasal 340 KUHP, yaitu pidana mati atau penjara seumur hidup, maka jangka waktu daluwarsanya adalah 18 (delapan belas) tahun (vide pasal 78 butir 1 ke-4 KUHP), yang jatuh pada tanggal 9 Mei 2011.
Pemohon yang dapat mengajukan PK tersebut, apabila berpegang pada ketentuan pasal 263 ayat (1) KUHAP, yaitu hanya terpidana atau ahli warisnya, itu pun hanya berlaku terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (kracht van gewjisde), kecuali putusan bebas (vrijspark) atau lepas dari segala tuntutan hukum (onslag rechts vervolging). Sehingga, apabila hanya mengacu secara eksplisit terhadap ketentuan dimaksud, maka PK dalam kasus dimaksud tidak dapat dilakukan karena putusan terhadap para terdakwa adalah bebas dari segala dakwaan dan permohonan PK pun tidak diperkenankan dilakukan oleh Jaksa / Penuntut Umum.
Namun, apabila merujuk pada yurisprudensi yang ada yaitu putusan MA No. 55 PK/Pid/1996, tanggal 25 Oktober 1996, yang “menerima secara formal” permintaan PK oleh Jaksa / Penuntut Umum dalam kasus Muchtar Pakpahan yang juga digunakan oleh Kejaksaan Agung RI pada pengajuan PK dalam Kasus Munir atas nama terdakwa Pollycarpus dengan putusan PK bahwa terdakwa Pollycarpus terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir sebagaimana dimaksud dalam pasal 340 KUHP, dimana putusan tersebut membatalkan putusan MA No. 1185 K/Pid/2006, tanggal 3 Oktober 2006, yang hanya menghukum terdakwa Pollycarpus karena bersalah telah melakukan tindak pidana menggunakan surat palsu dan membebaskannya dari dakwaan melanggar pasal 340 KUHP.
Disamping Itu, dalam PK Kasus Munir, Jaksa / Penuntut Umum juga menggunakan dasar yuridis dari ketentuan pasal 23 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 yang menyatakan bahwa pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan PK kepada MA, yang dalam hal ini diartikan oleh Kejaksaan Agung RI bahwa pihak-pihak yang bersangkutan tersebut termasuk Jaksa / Penuntut Umum demi kepentingan umum.
Oleh karena itu, dalam Kasus Marsinah pun, Jaksa / Penuntut Umum dapat mengajukan PK.
Daftar Pustaka:
- www. tempointeraktif.com
- M. Yahya Harahap, S.H. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; pemeriksaan sidang pengadilan, banding, kasasi dan peninjauan kembali.Penerbit Sinar Grafika/Edisi Kedua Cetakan Keenam 2005/Jakarta.
- UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM.
- UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
- www. scribd.com/doc/24532924/STUDI-KASUS-MARSINAH
Cuman ini yang bisa saya Share Terimakasih. jika Anda ingin Donwload Artikel ini klik Disini.
Referensi :
1. Kasus-kasus Pelanggaran HAM di Indonesia?
2. Studi Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia
3. Kasus Pelanggaran HAM terbunuhnya Munir
Tag : Kalanjutan Kasus terbunuhnya Marsinah, Upaya Tindak Lanjut Penuntasan Kasus Marsinah, Kasus Marsinah merupakan Pelanggaran HAM, Dasar Yuridis pada Kasus terbunuhnya Marsinah, Fakta – fakta Kejadian terbunuhnya Marsinah, Laporan Komnas HAM